Senin, 13 Desember 2010

Musik Baru Indonesia

Musik, sebuah produk budaya yang telah mengubah hidup banyak orang. Musik mampu membawa seseorang dalam ekstase kondisi tertentu, riang, sedih, atau mungkin melankoli. Musik tak pernah mati karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk seni, akan selalu berhadapan dengan indera perasa. Musik adalah milik semua orang, tidak terbatas ruang dan waktu. Musik berkembang, musik berevolusi. Manusia akan senantiasa berusaha memuaskan indera perasanya dan mencari kenikmatan yang lebih.Musik mengiringi eksistensi sebuah kebudayaan.

Pun dengan Indonesia, musik tumbuh subur di sini. Keanekaragaman budaya etnis menjadi khazanah latar belakang musik yang lahir dan berkembang. Indonesia punya alat musik, cengkok/pattern musik, dan genre musik yang variatif. Hampir setiap propinsi di Indonesia memiliki genre musiknya sendiri. Setiap daerah memiliki nama genrenya masing-masing, semisal Jawa dengan "tembang"nya. Untuk mempermudah pemahaman pemilahan musik, genre-genre inilah saat ini sering kita sebut -secara umum sebagai musik "etnik/tradisional". Indonesia telah mengalami evolusi yang panjang dalam bermusik. Jenis musik yang tumbuh subur di negara lain pun juga tumbuh subur dan berkembang di negeri ini. Perkembangan ini terutama terjadi pada masa Orde Baru. Pada masa Soekarno, musik Barat ditolak.

Berbarengan dengan banternya modal asing yang masuk, musik asing (terutama Barat) berkembang pesat di Indonesia. Muncul ikon-ikon "pop" Indonesia yang musiknya banyak mengacu pada barat. Musik Indonesia mengalami perubahan kembali. Mainstream musik yang kemudian berkembang pesat adalah pop dengan ikonnya Koes Plus (The Beatles-nya Indonesia). Dari Koes Plus kemudian banyak muncul bintang lain seperti Panbers misalnya.

Sementara itu, musik tradisional Indonesia masih berada pada jalurnya sendiri dan mulai dianggap "beda". Pop yang berarti populer dimaknai sebagai musik Barat. Musik Tradisional bukan pop (meskipun populer) karena bukan musik Barat. Industri musik Indonesia juga tidak mau ketinggalan, musik pop yang punya daya tarik kuat bagi masyarakat dimodifikasi besar-besaran. Industri musik pop melejit. Sementara generasi Koes Plus bertambah tua, muncul banyak generasi baru untuk musik, sama juga, mereka berada dalam jalur pop. Hingga kini, puluhan bahkan ratusan artis musik hidup dari "budaya pop" ini.

Tidak ada yang salah dalam musik pop ini. Sekali lagi, musik menyertai jamannya. Sejak Koes Plus sampai sekarang, banyak artis musik Indonesia yang selalu mencoba membawa "bahasa budaya Indonesia" ke dalam musik pop. Panbers misalnya dalam salah satu lagu berbahasa Inggris, coba membantu mempromosikan budaya Indonesia, "Indonesia, My Lovely Country". Atau simak saja lagu-lagu Iwan Fals, hampir sebagian besar lagunya adalah ungkapan kegundahan dirinya terhadap Indonesia. "Umar Bakrie, Umar Bakrie, pegawai negeri...".

Dari banyak artis musik Indonesia itu, salah satu yang menarik bagi saya adalah Guruh Soekarno Putra. Jika sebagian besar artis mencoba membawa "wajah Budaya Indonesia" dalam nada diatonik pop. Guruh sebaliknya. Guruh punya paradigma yang beda. Guruh mencoba berangkat dari konsep dasar bermusik dan berbudaya. Lewat album "Gipsi"nya, Guruh mengangkat kembali musik asli tradisional Indonesia dengan sedikit gubahan pada detailnya. Ia tidak menggubah total nuansa dan nada musik, tetapi lebih mempercantiknya dengan budaya musik pop yang sedang populer saat itu. Guruh hanya memberi kemasan. Simak saja Lagu "Janger Saka", nada dan liriknya asli Bali tetapi ia memberi sentuhan orkestra dan sedikit selipan nada diatonik. Hasilnya, mengagumkan. Dalam album ini, saya rasa Guruh sangat berhasil memberi wajah baru musik Indonesia.

Kini sesudah hampir 40 tahun musik pop barat merajai Indonesia, beberapa artis dan budayawan mulai menggali dan kembali lagi pada musik tradisional. Sama seperti apa yang dilakukan Guruh, mereka mengemas wajah musik tradisional dalam wajah baru yang "lebih enak didengar" dalam telinga generasi saat ini. Artis-Artis ini antara lain Djadug Ferianto, Dewa Budjana, Banjar Teratai Capung, Balawan dan banyak lagi artis lainnya. Di tengah gemuruh dan hiruk pikuk musik rock underground, artis-artis ini mencoba berbicara "lain". Mereka berani berbuat "beda". Mari kita gali lagi musik tradisional Indonesia, ciptakan wajah musik kontemporer Indonesia baru. Dengarkan musik-musik baru mereka ini dan koleksi lagunya dalam rak cd kita. Jangan sampai musik asli kita disimpan di negeri lain. Kenali jati diri sendiri, kita sebagai generasi muda adalah pewarisnya.

"Kalau kawan tak hati-hati, bisa hilang budaya asli. Kalau hilang budaya asli, harga diri tak ada lagi. Aras kijang krangi Janger" ( Lagu "Geger Gelgel"ciptaan Guruh Soekarno Putra).


Sumber : http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com/

Sabtu, 24 Mei 2008

L’Arc~en~ciel Band Asia Ter-Favorit…!!!

Kono mune ha yume wo egaiteku yo dokomademo takaku
Jiyuu ni mau no sa My Heart Draws A Dream
Oh oriatsu kanata de me wo aketara
Egao no mama no kimi niaeru ki ga shite
Rurarara aeru to ii na rarara
- L’Arc~en~ciel -


Di Indonesia,, banyak banget band-band lokal yang pakai lirik bahasa inggris di beberapa lagunya. Katanya sich,, biar gampang go internasoinal. Masak iya itu bener-bener syarat yang penting?? Kalo emang benar, tyuz kug bisa lagu L’Arc~en~ciel di atas banyak banget yang request di beberapa radio populer remaja di Indonesia? Khan, mayoritas lirik itu memakai bahasa Jepang, bukannya Inggris? Mengapa juga bisa gampang diterima di Indonesia bahkan di Dunia??

Hmm… beberapa penggemar Laruku memang gag mementingin arti lirik itu apa. Pokoknya khan, mereka tetep bisa enjoy ngedengerin musik Hyde (vokalis dan gitaris) dkk. Bahkan, Laruku jadi grup yang paling di suka di Asia. Ini bukti kalo pingin go Internasional gag harus pakai lirik bahasa asing.

Para penggemar Laruku bilang, kalau Laruku itu keren banget. Karena Hyde dkk punya soul bermusik yang bagus, gag flat ent monoton. Sangat berbeda daripada yang lain. Alhasil, kalo kita denger sebuah lagu dari band jepang, kita pasti bisa langsung nebak. “Oh,, ini pasti lagunya L’Arc~en~ciel”. Bener, gag?? Selain itu, Laruku punya musikalisasi yang cukup variatif. Apalagi, tema-tema musik Asia, termasuk Laruku sering berhubungan dengan anime dan manga yang sedang disukai ama anak-anak muda di Indonesia. Mereka yang suka musik jepang itu bisa dibilang punya selera musik yang tinggi, jadi gag Cuma tau band-band barat aja. Apalagi, band-band Asia khan gag jelek-jelek banget.

Selain warna musik, sisi fashion mereka yang sangat unik tersebut ikut berperan dalam pembesaran nama mereka. Bahkan hal itu yang merupakan pesona band Asia termasuk Laruku. Gaya harajuku band asal Osaka itu memang memberikan nuansa berbeda. Berani tampil dengan gaya yang sedikit berantakan sampai dandanan dan gaya berpakaian yang memadukan padanan warna-warna kontras. Sesekali tampil rapi dengan setelan jas membuat para cewek-cewek jatuh hati pada Laruku

Kalau kata pengamat musik Indonesia, Bapak Denni Sakrie, beliau berkata, “jika kita bandingkan band-band indonesia yang bermodal bakat dan otodidak, band-band Asia memang lebih jago dalam hal penguasaan musik. Namun sebenarnya dalam hal aransemen, musik kita nggak kalah bagus. Yang beda hanya selera.”

So, sebagai anak muda Indonesia, kita bolah-boleh aja suka ama band Asia seperti Laruku atau band barat seperti Muse atau MCR. Tapi kita juga kudhu tetep mencintai Karya musik anak bangsa. En berusaha melestarikan musik asli Indonesia… Ukey, guys?